News

Berikut Kerajaan yang Ada di Alam Minangkabau Sebelum Pagaruyung

Rumah gadang asat Minangkabau.

IBUWARUNG -- Secara awam, orang Indonesia tentu mengenal kerajaan Pagaruyung. Ini merupakan suatu kerajaan besar pada zaman dulu, yang berlokasi di Tanah Datar, Sumatera Barat.

Bahkan tidak sedikit yang mengatakan, bahwa Kerajaan Pagaruyung ini merupakan salah satu kerajaan yang tertua di pulau Sumatera.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Memang, dari informasi yang beredar, Kerajaan Pagaruyung berdiri pada tahun 1347 masehi, yang diproklamirkan oleh Adityawarman sekaligus menjadi raja pertama.

Tetapi, itu tidak menandakan bahwa Kerajaan Pagaruyung menjadi yang pertama di alam Minangkabau. Artinya, terdapat sejumlah kerajaan lain yang muncul terlebih dahulu ketimbang Pagaruyung.

Bahkan dari sejumlah kerajaan itu, terdapat satu nama kerajaan yang dicap sebagai yang pertama, sekaligus ada pula kesultanan. Lantas jika bukan Kerajaan Pagaruyung sebagai yang pertama, lalu kerajaan apa yang pertama kali muncul?

Menyangkut hal itu, Kerajaan Pasumayam Koto Batu adalah kerajaan pertama yang berdiri di alam Minangkabau. Menurut Tambo, dari buku Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol karya Amir Sjarifoedin Tj.A, kerajaan itu berada di daerah bernama Pariangan, dekat kaki gunung Merapi.

Kerajaan Pasumayam Koto Batu ini berdiri pada abad ketiga sebelum masehi, sampai pertengahan abad kedua masehi.

Kerajaan ini didirikan oleh Sri Maharaja Diraja, sekaligus menjadi raja pertama. Selama masa pemerintahannya berlangsung, Kerajaan Pasumayam Koto Batu telah melahirkan sejumlah daerah-daerah dan nagari.

Setiap wilayah yang berada dalam cakupan kerajaan itu, dipimpin oleh datuk-datuk yang ditunjuk oleh Sri Maharaja Diraja.

Kerajaan Pasumayam Koto Batu terus berkembang dan mulai berganti raja.

Setelah Sri Maharaja Diraja tidak menjabat, posisinya digantikan oleh beberapa orang, seperti anak Datuk Ketumanggungan dan saudara tirinya, Datuk Perpatih Nan Sabatang, serta mamak kandung Datuk Suri Dirajo.

Kerajaan berikutnya adalah Lagundi Nan Baselo, yang bertempat di Pariangan Padang Panjang dan berdiri pada abad kedua, sampai pertengahan abad kelima masehi.

Pada Kerajaan Lagundi Nan Baselo dipimpin oleh Suri Dirajo, yang mana ia adalah keturunan dari Dri Maharaja Diraja.

Suri Dirajo memiliki pengetahuan yang sangat luas dan dalam. Berkat kelebihannya itu, membuat masyarakat dalam kerajaannya sangat dihormati dan disanjung.

Bahkan, saat ia masih menjabat sebagai raja di kerajaannya, ia dianugerahi gelar Sri Maharaja Diraja, yang merupakan gelar keturunan yang diwariskan secara turun-temurun, dari raja-raja gunung Merapi.

Kemudian, di alam Minangkabau juga terdapat Kerajaan Bukit Batu Patah, yang bertempat di Tanah Datar.

Kerajaan ini adalah lanjutan dari Kerajaan Pasumayan Bukit Batu yang sudah lengser, diakibatkan tidak setujunya masyarakat kerajaan tersebut dengan peraturan yang dibuat oleh rajanya.

Untuk mengatasi permasalahan itu, Sutan Nun Alam, yang masih memiliki hubungan darah dengan Datuk Suri Dirajo, mendirikan Kerajaan Bukit Batu Patah.

Dalam menjalankan pemerintahan, Kerajaan ini membentuk satuan rajo duo selo dan basa empat balai. Sistem ini bercirikan dimana Sutan Nun Alam digantikan oleh Run Pitualo, dan Maharajo Indo naik menggantikan Run.

Menariknya, Kerajaan ini pun berpindah tempat ke pinggiran sungai Bungo dan mulai dimasuki ajaran islam. Masuknya ajaran islam disebabkan melalui wilayah Timur di alam Minangkabau.

Dengan perubahan itu, maka Kerajaan Bukit Batu Patah ini dipimpin oleh Yang Dipetuan Sati, sebagai raja berikutnya.

Bahkan kerajaan tersebut menjadi kerajaan islam pertama di alam Minangkabau, sekaligus mengubah sistem pemerintahannya yang dulunya rajo duo selo, menjadi rajo tigo selo.

Kerajaan Bungo Satangkai dan Dusun Duo adalah kerajaan yang tergabung menjadi satu, yaitu Bungo Satangkai dan Dusun Duo. Kerajaan ini diawali dengan berdirinya Kerajaan Bungo Satangkai yang dipimpin oleh Datuk Katumanggungan pada abad kelima masehi.

Tidak lama setelah itu, berdiri juga Kerajaan Dusun Tuo yang berlokasi di Lima Kaum, dengan Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai raja pertamanya.

Namun berlangsungnya kerajaan Dusun Tuo tidak berlangsung lama,.

Kerajaan tersebut akhirnya bergabung ke kerajaan Bungo Satangkai, dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang diberi gelar kehormatan Gajah Gadang Patah Gadiang. Akhirnya kedua kerajaan itupun bergabung menjadi satu.

Dalam masa pemerintahannya, Kerajaan Bungo Satangkai dan Dusun Tuo ini membuat suatu peraturan Si Lamo-Lamo, yang menggantikan peraturan lama bernama Mumbang Jatuah.

Peraturan baru itu mengharuskan sesuatu keputusan yang diambil harus diperhitungkan mendalam, dan tidak terburu-buru.

Namun dalam penerapannya, peraturan Si Lamo-Lamo ini hanya diterapkan dalam Kerajaan Dusun Tuo. Sebaliknya, Kerajaan Bungo Satangkai masih menerapkan peraturan lama Si Mumbang Jatuah.

Akhirnya terjadi perselisihan kecil antara Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Perselisihan itu berakhir dimana kedua raja berdamai dan perdamaian itu ditandai dengan batu batikam.

Setelah mendirikan Kerajaan Pasumayam Koto Batu, Sri Maharaja Diraja kembali mendirikan kerajaan baru di daerah Bukit Bakar, dengan nama Kandis, dan berdiri pada abad kesatu sebelum masehi.

Tidak lama ia menjabat sebagai raja, Sri Maharaja Diraja akhirnya wafat dan digantikan oleh anaknya, Mangkuto Maharaja Diraja atau dikenal Datuk Rajo Tunggal.

Orang-orang berada di wilayah Kerajaan Kandis, mulai berangsur-angsur pindah dari bukit Bakar. Orang yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kemampuan dan cukup berpengaruh di kerajaan tersebut.

Beberapa orang itu pindah menuju bukit Selasih, kemudian mendirikan kerajaan Kancil Putih.

Selain itu, beberapa orang lainnya juga berpindah ke daerah Kuantan, yang memiliki geografis wilayah pinggir laut.

Meilhat daerah Kuantan yang air lautnya surut, orang-orang dari Kerajaan Kandis mulai mendirikan kerajaan dengan nama Koto Alang, dimana Aur Kuning adalah raja pertamanya.

Persebaran orang di wilayah Kerajaan Kandis tidak hanya tersebar ke dua wilayah kerajaan tersebut saja, namun mereka juga menuju daerah-daerah lain dan membangun kerajaan baru di sana.

Di antaranya Puti Pinang Masak dan Merah di wilayah Lubuk Ramo, Dang Tuanku di Singingi, serta Imbang Jayo di Koto Baru.

Mulailah perang-perang kecil antara beberapa kerajaan di atas. Salah satu contoh adalah perang antara Kerajaan Kandis dengan Koto Alang.

Perang tersebut membuat Kerajaan Koto Alang Takluk. Aur Kuning sebagai raja saat itu, tidak mau tunduk dan diperintah oleh Kerajaan Kandis.

Akhirnya ia pun kabur menuju Jambi. Semenatara petinggi-petinggi Kerajaan Koto Alang yang lain, Tumenggung dan Patih, juga ikut kabur ke kaki gunung Merapi. Mereka berdua pun berganti nama dengan Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang.

Kerajaan Kandis pun akhirnya runtuh yang disebabkan oleh peperangannya dengan raja Sintong dari Cina Belakang. Tidak hanya disitu saja, pasukan raja Sintong melakukan perjalanan menuju wilayah Jambi, sekaligus menghabisi sisa Kerajaan Kandis.

Imbas dari perang tersebut, beberapa orang yang tersisa dari Kerajaan Kandis berkumpul di bukit Bakar. Mereka menetap disana dan takut apabila musuh kembali menyerang.

Maka dari itu, mereka membuat kesepakatan untuk menyembunyikan istana Dhamna, yang dibangun oleh Sri Maharaja Diraja, dengan melakukan sumpah.

Terakhir ada Kesultanan Kuntu Kampar yang berada di wilayah Minangkabau Timur. Sesuai dengan namanya, Kesultanan Kuntu Kampar berada di sekitar sungai Kampar Kiri dan Kanan, serta menyebar ke wilayah lain. Keunikan dari Kesultanan Kuntu Kampar ini adalah penghasil merica yang terbesar.

Bahkan beberapa kerajaan lain seperti Singosari dan Majapahit, adalah pelanggan utama dari Kesultanan Kuntu Kampar, dalam hal perdagangan merica.

Tidak menutup kemungkinan juga, dua kerajaan besar di pulau Jawa itu juga ingin merebut Kesultanan Kuntu Kampar.

Akhirnya, Kesultanan Kuntu Kampar pun diperebutkan oleh beberapa pihak, yang disebabkan oleh kualitas merica yang dihasilkan. Dari catatan lapangan Poortman, ia menjelaskan bahwa Kesultanan Kuntu Kampar diperebutkan oleh pihak beragama islam dan hindu-budha, secara bergantian.

Pertama, dimulai dari Dinasti Fathimiyah yang datang dari Mesir pada tahun 1128, memperebutkan daerah produksi merica Kesultanan Kuntu Kampar.

Kemudian pada tahun 1168, Dinasti Fathimiyah dipukul mundur oleh para tentara Dharmasraya Jambi, yang beragama buddha. Mereka pun juga sukses menguasai daerah produksi merica Kesultanan Kuntu Kampar.

Penguasaan itu juga berlanjut kepada Kerajaan Singosari, dimana kerajaan tersebut berupaya untuk menguasai Kesultanan Kuntu Kampar beserta produksi mericanya, melalui ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 sampai 1289.

Kemudian berikutnya diperebutkan kembali oleh pihak islam, yang melakukan perang di Jawa Timur pada 1301 sampai 1339. Kesultanan Aru Barumun juga sempat menguasai Kesultanan Kuntu Kampar, dan daerah produksi mericanya pada 1301. Lalu terakhir dikuasai oleh Kerajaan Majapahit pada 1339.