Selingkar Kerajaan Pagaruyung, Mulai dari Terbentuk sampai Runtuhnya
Hampir semua orang di luar Sumatera Barat, pasti mengenal dengan kerajaan Pagaruyung. Yap, Pagaruyung adalah kerajaan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Sumatera Barat, hingga sampai diluar provinsi tersebut.
Kerajaan Pagayurung merupakan salah satu yang tertua di Indonesia, dan juga termasuk kerajaan yang cukup berpengaruh di pulau Sumatera.
Namun dibalik itu, Kerajaan Pagaruyung memiliki cerita sejarahnya sendiri, yang penulis kutip dari buku Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, karya Amir Sjarifoedin Tj.A.
Kerajaan Pagaruyung sejatinya sudah berdiri pada abad pertama masehi, seperti yang dikatakan oleh Prof. Slamet Mulyana. Katanya, kerajaan tersebut awalnya bukan dinamakan Pagaruyung. Melainkan, kerajaan tersebut memiliki nama yang bergonta-ganti.
Pada awal berdiri, Kerajaan Pagaruyung justru dinamakan Kuntala, dan bertempat di sekitar pedalaman Jambi. Kerajaan Kuntala ini terus melangsungkan pemerintahannya sampai abad keempat masehi.
Barulah setelah itu, namanya mulai berganti menjadi kerajaan Swarnabhumi pada abad kelima sampai ketujuh masehi. Belum putus sampai disitu, setelah itu mulai berganti nama menjadi Kerajaan Sriwijaya, kemudian Malayapura, berganti jadi Melayu, hingga menetapkan namanya menjadi Kerajaan Pagaruyung.
Berdirinya kerajaan Pagaruyung ditandai dengan Prasasti Suruaso, yang dituliskan bahwa Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan yang dibangun oleh raja sebelumnya, yaitu Akarendrawarman.
Prasasti tersebut juga menyebutkan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya menuju ke daerah Pagaruyung.
Dengan adanya keterlibatan Adityawarman pada Kerajaan Pagaruyung, dirinya juga sempat menjadi raja pada kerajaan tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa. Hal itu diungkapkan dalam prasasti Batusangkar.
Untuk wilayah kekuasaannya sendiri, Kerajaan Pagaruyung sangatlah luas. Jean Drakar dari Monash University Australia, kerajaan ini setara dengan Kerajaan Mataram dan Melaka.
Tidak hanya di pulau Sumatera saja, Kerajaan Pagaruyung juga memiliki daerah kekuasaan hingga Negeri Sembilan Malaysia.
Kerajaan Pagaruyung juga mempunyai sistem pemerintahannya sendiri. Adityawarman menerapkan sistem pemerintahan kerajaandan memperkenalkannya.
Bahkan, sistem pemerintahan yang dibangunnya, juga mirip dengan yang digunakan oleh Kerajaan Majapahit kala itu. Lebih dari itu, kekuatan Adityawarman cukup kuat dan mendominasi pulau Sumatera.
Hal itu didukung dengan gelar Maharajadiraja yang disandangnya, serta disebut dalam arca Amoghapasa, di hulu sungai Batang Hari. Statusnya sebagai raja, turut dibantu oleh Datuk Parpatih nan Sabatang dan Katumanggungan.
Dengan ini, Adityawarman membawa Kerajaan Pagaruyung meraih masa kejayaannya. Ia menjalin kerjasama dengan sejumlah kerajaan-kerajaan lain, baik dalam bidang perdagangan, maritim, dan yang lainnya.
Salah satunya adalah Kerajaan Majapahit, yang mana Adityawarman sebelumnya merupakan petinggi dari kerajaan tersebut.
Bukan hanya itu, Kerajaan Pagaruyung juga menjalin kerjasama dengan kerajaan kecil. Bahkan, Kerajaan Pagaruyung menjalin kerjasama dengan Cina, dan sempat mengirim utusannya ke sana.
Tidak hanya soal menjalin kerjasama dengan kerajaan lain, Kerajaan Pagaruyung juga mendapati pengaruh dari beberapa agama dunia. Pertama, Kerajaan Pagaruyung mulai dipengaruhi oleh masuknya agama Hindu-Budha, pada abad ke 13 masehi.
Dua abad setelah itu, Kerajaan Pagaruyung juga ikut dipengaruhi dengan masuknya ajaran agama islam, melalui para musafir dan pemuka agama yang datang dari Aceh hingga Malaka.
Setiap kerajaan pastilah akan merasakan di keadaan yang lemah. Hal itu juga berlaku pada Kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan tersebut mulai melemah kekuasaanya, yang diakibatkan oleh kuatnya pengaruh Kesultanan Aceh, yang mana mulai bergerak menguasai wilayah-wilayah yang berada di pesisir barat Sumatera. Tentu hal itu membuat wilayah Kerajaan Pagaruyung menyusut menjadi kecil.
Sampai pada akhirnya, Kerajaan Pagaruyung runtuh yang disebabkan oleh sejumlah faktor, mulai dari imbas perang Padri, hingga campur tangan Belanda pada abad ke 19.