Ini Sejarahnya Tradisi Carok di Madura, Upaya untuk Pertahankan Harga Diri
IBUWARUNG -- Belum lama ini, tepatnya pada Jumat (12/1/2024) lalu, terjadi kasus pembunuhan oleh kakak beradik, yang melakukan aksi carok hingga korban tewas.
Kakak beradik berinisial HB dan HW, melakukan carok kepada korban, yaitu MTJ, MTD, NJ dan HF. Dari keterangan polisi yang mengusut kasus tersebut, korban merupakan satu keluarga.
Carok bermula saat HB menegur MTJ yang pada waktu itu sedang pergi ke tempat tahlilan di desanya.
Korban MTJ tidak terima dan langsung naik pitam dengan menghampiri tersangka HB. Mereka pun terlibat adu mulut hingga menantang pelaku untuk bertarung satu lawan satu.
Dari kasus tersebut membuat orang bertanya-tanya, apa itu carok? Dan bagaimana asal mula dari tradisi asal Madura tersebut?
Carok adalah suatu tradisi yang melekat di masyarakat Madura. Ini merupakan tradisi dimana seseorang yang berusaha mempertahankan harga dirinya maupun keluarga, bagi orang lain yang ingin melecehkan istri ataupun anaknya.
Bisa juga, seseorang tersebut berusaha menjaga nama baik keluarganya, dengan cara apapun. Dengan kata lain, carok adalah suatu tindakan menghabisi nyawa orang demi mempertahankan nama keluarga.
Penduduk Madura selalu memegang teguh istilah ini "Katembheng pote mata ango’a poteya tolang." Artinya, daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah.
Ungkapan tersebut selalu dipegang teguh oleh semua masyarakat Madura. Ungkapan itu menandakan, bahwa untuk mempertahankan harga diri dari orang lain serta masyarakat Madura, sangatlah tinggi.
Bisa dikatakan, inilah prinsip seseorang yang memegang teguh tradisi Carok, di Madura.
Dimulainya Tradisi Carok
Sejarahnya, tradisi Carok sudah muncul sejak abad ke 17 Masehi.
Wiyata, dalam jurnal berjudul Tradisi Carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkaea Menggunakan Prinsip Restorative Justice, yang ditulis oleh Aina Aurora Mustikajati, Alif Rizqi Ramadhan dan Riska Andi Fitriono pada 2021 mengatakan, pada masa itu Belanda menduduki Nusantara termasuk wilayah pulau Madura tanpa terkecuali.
Banyak peristiwa dengan kekerasan yang menyasar kepada masyarakat Madura, setidaknya ketika kongsi dagang VOC menginjakan kaki di Madura untuk pertama kalinya.
Carok tidak hanya dilakukan saat Belanda menjajah Indonesia di zaman dahulu. Tradisi tersebut juga dilakukan oleh hampir semua masyarakat Madura, termasuk juga di lingkar keluarga.
Tradisi tersebut biasanya dilakukan oleh laki-laki dari Madura, yang mana ia berupaya mempertahankan harga diri anak dan istri, maupun keluarganya.
Wiyata melanjutkan, menurut masyarakat suku Madura, persoalan harga diri menjadi salah satu dari keunikan budaya Madura yang tidak dimiliki oleh masyarakat budaya lain.
Tradisi ini tidak hanya berlaku dalam mempertahankan harga diri keluarga, namun juga dalam hal yang lain. Salah satunya adalah mempertahankan sengketa tanah masyarakat Madura.
Syarof & Tobroni menyebutkan, dapat dipahami bahwa Carok sendiri adalah suatu tindakan kekerasan dengan cara duel menggunakan senjata tajam untuk membela harga diri pelaku Carok.
A. Latief dalam jurnal Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura yang ditulis oleh Henry Arianto dan Krishna, pada 2011 lalu mengatakan, untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial.
Apapun cara carok yang dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga.
Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan perasaan malo (malu) yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan Carok, selain faktor lainnya.
Faktor yang Menimbulkan Carok
Tradisi carok banyak disebabkan oleh banyak faktor. Seringkali, carok ditimbulkan oleh faktor seseorang yang merendahkan harga diri seseorang lain.
Prayoga menyebutkan, faktor utama terjadi carok adalah terganggunya kehormatan istri dan anak perempuan. Masyarakat Madura berpandangan bahwa martabat dan kehormatan istri merupakan martabat dan kehormatan bagi suami pula.
Seorang istri bagi masyarakat Madura adalah bhantalla pate atau landasan kematian, maka apabila ada suatu hal yang mengganggu istri orang lain sama saja dengan aghaja nyabah atau tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa.
Faktor lain ialah carok dianggap sebagai suatu cara untuk mempertahankan martabat diri sendiri.
Apabila terdapat suatu tindakan yang tidak menghargai martabat atau mengakui peran dan status sosial sama saja memperlakukan dirinya sebagai orang yang tada' ajhina atau tidak memiliki harga dirinya. Seorang pria yang mengalami pelecehan sosial tetapi tidak melakukan carok akan dianggap tidak laki-laki atau lo' lake.
Sehingga terdapat kalimat "Mon tak bangal acarok jha' ngako orang Madhura" yang memiliki arti, jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura.
Faktor penyebab lain seperti persaingan bisnis dan pembalasan dendam juga turut menjadi faktor yang melatarbelakangi terjadinya carok.
Wiyata menuturkan, untuk melakukan carok sendiri sedikitnya harus memenuhi lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antara laki-laki, pelecehan harga diri terutama yang berkaitan dengan kehormatan perempuan, perasaan malo, adanya dorongan, dukungan, atau persetujuan sosial, serta perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.
Syarat untuk Melakukan Carok
Tradisi carok juga harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya Kadigdajan (latihan bela diri), Tamping Sereng (meminta jampi-jampi kekebalan supranatural), dan Banda (kecukupan modal).
Kadigdajan atau latihan bela diri dapat diumpamakan sebagai sedia payung sebelum hujan, atau pelaku carok harus melatih dirinya agar tidak kalah dalam pertarungan. Tamping sereng atau meminta jampi-jampi kekebalan supranatural sebenarnya dilakukan untuk membuktikan bahwa pelaku carok takut akan akibat dari kekalahan carok itu sendiri, yaitu kematian.
Sumardianta menilai, syarat ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura masih kental dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Syarat terakhir, yaitu Banda, yang berarti kecukupan modal untuk tidak menjadi suatu permasalah berapapun jumlah modal yang dikeluarkan karena pemenang carok akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi dibanding kedudukan sebelumnya baik secara sosiologis maupun kultural.