Penghulu, Sosok Pemimpin Suku di Minangkabau (Bagian 2)
IBUWARUNG -- Bisa dikatakan, Penghulu merupakan sosok yang menjadi pemimpin di dalam kaum maupun sukunya sendiri. Untuk menjadi seorang Penghulu, sudah pasti harus memenuhi lima syarat yang utama.
Dirangkum dari buku Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, karya Amir Sjarifoedin Tj.A, berikut lima syarat itu.
Kelima syarat tersebut adalah seorang laki-laki, baik zatnya, kaya akal sampai pengetahuan, baligh, dan adil. Setelah memiliki calon Penghulu yang memenuhi lima syarat tersebut, tentunya ia harus melewati sejumlah proses pengangkatan.
Calon Penghulu nantinya akan menggunakan gelar pusaka dari sukunya, yang diwariskan secara turun-temurun sekaligus musyawarah.
Barulah setelah itu, kesepakatan calon Penghulu dibawa ke sidang Kerapatan Nagari, untuk ditetapkan sebagai Penghulu.
Tentunya Penghulu yang sudah ditetapkan, nantinya akan ada proses malewakan penghulu.
Proses ini bertujuan untuk menyampaikan bahwa ada pengangkatan Penghulu baru ke semua rakyat. Bahkan, proses ini juga mengadakan pesta pengangkatan Penghulu baru, semeriah mungkin.
Masih dalam proses pengangkatan Penghulu baru, secara umum ada lima jenis pengangkatan Penghulu yang harus dilakukan, bahkan itu sudah menjadi kewajiban dalam tradisi adat Minangkabau.
Pertama adalah "Mati batungkek budi." Artinya, apabila Penghulu sewaktu-waktu wafat, saat itu juga langsung dicari penggantinya.
Kedua ada "Hiduik bakalirahan." Artinya, di dalam adat gelar pusaka itu dapat diganti atau diserahkan kepada kemenakan, apabila Penghulu sudah tidak memungkinkan dalam memimpin kaum atau sukunya.
Tidak bisa memungkinkan dalam arti sudah tua, atau tidak mampu dalam menjalankan tugas.
Ketiga adalah "Gadang manyimpang." Artinya, hal ini bisa terjadi apabila anggota keluarga dalam kaum atau sukunya sudah semakin besar.
Demi kelancaran urusan anak kemenakan, maka diangkat Penghulu lain, yang gelarnya serupa dengan yang asli. Contohnya adalah Datuk Bandaro dengan Datuk Bandaro Kayo.
Kemudian yang keempat, "Mangguntiang siba baju." Apabila anak kemenakan sudah mampu mengatur kaum atau sukunya sendiri, dia akan menerima gelar pusaka.
Setelah resmi diangkat dan dirayakan, Penghulu tentunya harus bekerja mengatur dan menjaga kaum atau sukunya sendiri.
Dalam melakukan hal itu, seorang Penghulu tentu harus melakukan sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Penghulu harus mempunyai kesabaran baik dalam kehidupan sendiri maupun untuk kaum atau sukunya.
Selanjutnya, Penghulu tidak boleh melakukan hal-hal yang merusak wibawanya sendiri, seperti menghardik, berlari-lari, menjinjing atau membawa beban, serta memanjat.
Dibalik ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan, pastinya seorang Penghulu mempunyai hak dan kewajiban, selama ia mengemban tugasnya termasuk mengatur dan menjaga kaum atau sukunya.
Untuk hak, penghulu berhak memutuskan permasalahan dengan tegas dan tepat. Penghulu juga menetapkan hak dan kewajiban untuk kemenakan dalam kaum atau sukunya. Lalu,
Penghulu berhak menerima hasil dari tanah ulayat kaum atau sukunya.
Sebaliknya, secara umum ada empat hal yang mesti menjadi kewajiban yang dilakukan Penghulu.
Pertama, semua yang dilakukan olehnya harus mengikuti aturan-aturan sesuai adat.
Kedua, ia harus melaksanakan peraturan adat yang ada.
Ketiga, Penghulu harus menjaga harta pusaka kaum atau sukunya.
Lalu yang keempat, Penghulu tentunya menjaga anak dan kemenakannya sendiri.